Suratni, Ni Wy. (2012) DRAMA GONG INOVASI PRAHARA KANG CHING WIE. S2 thesis, INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA.
|
Text
Deskripsi Karya Ni Wy. Suratni.pdf Download (1MB) | Preview |
Abstract
Sinopsis ...Sri Haji Jayapangus puspitanam; saktimantah astagunam; Ratu wibhuh kretajnyanam; sarwwasatru winasanam... Tersebutlah dalam Purana Pura Dalem Balingkang, seorang Raja Bali Dwipa bernama Sri Haji Jayapangus yang beristana di Kerajaan Panarajon. Beliau memerintah sangat arif bijaksana didampingi oleh para senapati, rsi, mahabrahmana, dan abdi pilihan karenanya sejahteralah seluruh wilayah kerajaan Bali. Para abdi baginda bergotong-royong saling bau-membau, sepenanggungan menghamba karena semuanya menghendaki ketentraman dan kesejahteraan. Baginda raja sangat bijaksana dalam mengendalikan pemerintahan dan mengetahui tata cara upacara yadnya karena didampingi rohaniawan dari aliran Siwa (Hindu) bernama Mpu Nirjanma dan Mpu Liem dari aliran Budha. Mpu Liem mempunyai seorang dayang bernama Kang Ching Wie, putri dari I Subandar, seorang saudagar dari China. Suatu ketika baginda Raja Sri Haji Jayapangus menyaksikan kecantikan dan kemolekan Kang Ching Wie, timbul niatnya untuk memperistri. Keinginan raja ditentang oleh bhagawanta (penasehat) raja karena beda keyakinan, namun raja bersikeras maka berlangsunglah pernikahan itu secara resmi disaksikan seluruh rakyat di Kerajaan Panarajon. Berkat pernikahan Kang Ching Wie dengan Raja Sri Haji Jayapangus, I Subandar mempersembahkan uang kepeng bolong sebagai wujud penyatuan kedua sejoli yang beda agama (Budha dan Hindu). Dikutuknya Raja Jayapangus atas pernikahannya dengan putri China oleh Mpu Nirjanma, menyebabkan kerajaannya Panarajon hancur berantakan dilanda banjir dan angin beliung. Beliau bersama abdinya yang tersisa menyingkir dan mengungsi ke tengah hutan dan segera membangun kerajaan serta pemukiman. Setelah lama, jadilah wilayah yang kemudian bernama kerajaan Balingkang, dari penyatuan dua kata yakni; kata Bali diambil dari baginda Raja Jayapangus, penguasa jagat Bali. Sedangkan kata Kang diambil dari istri baginda bernama Kang Ching Wie. Suatu ketika Raja Jayapangus mendengar pergunjingan rakyat tentang kekhawatirannya mengenai nasib kerajaan Bali, karena sampai saat itu belum memiliki keturunan. Kemudian Jayapangus pamitan kepada istrinya memutuskan untuk melakukan perjalanan spiritual ke tengah hutan, bertapa memohonkan keturunan untuk kelangsungan kerajaannya. Beliau diiringi abdinya menyusuri hutan belantara dan mengamati gerombolan binatang, dan salah satu sedang menyusui anaknya. Seketika ia terkenang bahwa prilaku binatang tersebut bagaikan menyindir sang raja belum dikaruniai keturunan. Tiba-tiba suara gemuruh dan hujan lebat disertai angin kencang menerpa Jayapangus yang tidak sadar bahwa dirinya sudah tersesat jauh dan berada di pinggir danau. Kehadiran hujan lebat yang begitu mendadak adalah pertanda hadirnya Dewi Danu putri penguasa Danau Batur. Beliau menampakkan wujud aslinya dan menggoda Jayapangus yang sedang bertapa. Kekuatan dan aura yang dimiliki Dewi Danu kemudian berhasil menggoda tapa Jayapangus hingga tertarik atas kemolekannya.`Pucuk dicinta, ulampun tiba`, dan gayung bersambut, mereka berdua melangsungkan perkawinan dan kemudian menetap di sekitar Danau Batur. Kang Ching Wie, di Kerajaan Panarajon sangat gelisah memikirkan suaminya Jayapangus yang tidak kunjung kembali dari perjalanannya. Ia memutuskan untuk menyusuri suaminya dan akhirnya sampai di kaki gunung Batur, tempat bertapanya raja Jayapangus. Di pinggirian Danau Batur, Kang Ching Wie dikagetkan ulah seorang anak membawa sebilah keris dan tulup sedang mengejar burung hasil tangkapannya yang kebetulan jatuh terkapar tepat di depannya. Saat itu Kang Ching Wie sangat terkejut dan terkesima melihat kalung yang dipakai oleh anak tersebut yang ternyata putra Jayapangus dengan Dewi Danu. Keris itu mengingatkan dirinya dengan suaminya saat mau berangkat bertapa. Dengan rasa penasaran Kang Ching Wie kemudian mengambil dan mendekap keris tersebut dengan tatap mata kosong menerawang masa lalunya dengan Jayapangus. Melihat keris tersebut dibawa oleh Kang Ching Wie, membuat anak kecil (putra Jayapangus) tersebut menangis sampai terdengar oleh Jayapangus dan Dewi Danu. Kemudian menghampiri putranya yang sedang menangis, dan saat itu pula ia bertemu dengan Kang Ching Wie. Keadaan sejenak hening tanpa kata saat Jayapangus terkesima melihat Kang Ching Wie yang tiada lain adalah istrinya. Dewi Danu kemudian memecah keheningan ini dengan mencaci maki Kang Ching Wie yang dituduh ingin menggoda suaminya dengan tatapan tajam seperti itu. Kang Ching Wie kemudian naik pitam mendapat tuduhan seperti itu dan balas mengumpat Dewi Danu yang telah merebut suaminya dengan cara nista.Perang mulutpun tidak terelakkan lagi. Sementara Jayapangus termangu tanpa bisa berbuat apa-apa. Puncak dari perang mulut ini berbuntut pada pertempuran adu kadigjayan. Dewi Danu dengan kesaktiannya mengeluarkan suara guntur dan hujan badai yang hampir menenggelamkan Kang Ching Wie. Sementara Kang Ching Wie melawan dengan mengeluarkan naga air yang justru tidak mati oleh air. Bhatari Ulun Danu Batur muncul tepat saat perang dahsyat itu terjadi. Beliau melerai keduanya dan menjelaskan keadaan yang sebenarnya terjadi adalah kodrat. Keadaanpun mulai tenang dan magis. Pada saat itu pula Bhatari Ulun Danu mengutuk Jayapangus dan Kang Ching Wie berubah wujud menjadi sepasang arca batu yang kelak akan berubah menjadi Barong Landung dengan nama Jro Gede dan Jro Luh serta diberikan tempat di sebelah utara Danau Batur.
Type: | Thesis (S2) |
---|---|
Subject: | 1. ISI Surakarta > Penciptaan dan Pengkajian Seni |
Divisions: | Faculty of Graduate Programs > School of Master Program (S2) |
User deposit: | Pascasarjana |
Datestamp: | 09 Jan 2017 02:44 |
Last mod: | 23 Jan 2017 03:35 |
URI: | http://repository.isi-ska.ac.id/id/eprint/920 |
Actions (login required)
View item |