Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Nasib Gamelan Setelah Penetapan UNESCO

Tiga tahun setelah gamelan ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO, nasib pengrawit masih tidak jelas.

21 Desember 2024 | 06.02 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tiga tahun lalu gamelan ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO.

  • Hal ini hanya berhenti sampai perayaan dan seremoni belaka.

  • Nasib pengrawit tidak jelas dan hak cipta karya musikus tradisi tak dilindungi.

TIGA tahun lalu, tepatnya pada 15 Desember 2021, gamelan ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Penetapan ini menjadi penting dan simbol bagaimana gamelan tidak semata alat musik, tapi juga bagian dari kehidupan masyarakat Jawa yang menyatu dalam pelbagai prosesi ritual, upacara adat, tradisi, dan seni pertunjukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kendati demikian, efek dari pengakuan UNESCO tersebut belum dapat dirasakan secara nyata, terutama perubahan bagi detak hidup gamelan pada hari ini. Memang beberapa daerah, pada setiap tanggal tersebut, menggelar pertunjukan gamelan untuk merayakan penetapan itu. Banyak pihak juga mengusulkan penetapan hari gamelan dunia. Namun, sejauh ini, semua masih terkesan seremonial belaka. Belum ada tindakan konkret untuk mengatasi beberapa persoalan penting dalam dunia gamelan. Katakanlah, soal nasib musikus gamelan, yang disebut pengrawit, dalam menatap masa depannya.

Nasib Pengrawit

Gamelan melembaga dalam banyak institusi pendidikan seni dengan beralih ke dalam dunia yang lebih ilmiah dan formal bernama jurusan karawitan. Kampus seni menghasilkan banyak lulusan musikus gamelan bergelar sarjana seni (karawitan). Namun, hingga saat ini, kita masih kesulitan melacak bagaimana eksistensi dan daya tahan menjadi seorang pengrawit tulen bagi generasi muda. Dalam banyak kasus, tidak sedikit pengrawit tua, yang selama hidupnya mengabdikan pada satu dalang wayang kulit, tiba-tiba dipecat hanya gara-gara ada pengrawit baru yang lebih muda dan mau dibayar murah. Ke mana pengrawit tua itu akan mengadu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam berbagai kesempatan—di kelas, ruang seminar, dan tulisan—saya senantiasa mendengungkan persoalan ini. Urusan menjadi pengrawit tidak semata pengabdian, tapi juga bagaimana mereka mampu menentukan "harga" atas pengorbanan dan ketekunan mereka selama ini. Musikus gamelan dan musikus etnik pada umumnya tidak punya kuasa untuk memperjuangkan hak hidupnya. Mereka selalu dikontrol dan menjadi "obyek" dalam dominasi musik industri kontemporer dan ekosistem seni pertunjukan lain—misalnya pada wayang kulit. Kita dengan mudah menjumpai seorang dalang bermobil mewah, tapi tidak demikian dengan musikusnya, yang tetap miskin dan tanpa perlindungan hak hidup—sebut saja perlindungan kesehatan dan ketenagakerjaan.

Grup musik etnik religi Ki Ageng Ganjur yang merupakan delegasi kebudayaan Indonesia memainkan komposisi musik gamelan di gereja Basilika Santo Petrus, Vatikan, 4 Desember 2024. TEMPO/Gunawan Wicaksono

Saya selalu mengkritik lembaga pendidikan seni karawitan yang telah hadir lebih dari setengah abad tapi sibuk dengan urusan-urusan yang tidak sepenuhnya substansial. Misalnya mereka sibuk berteori musik, tapi tidak memperhatikan mekanisme advokasi pada pelaku musiknya. Mereka sibuk merumuskan terminologi-terminologi ilmiah, tapi abai dalam membentuk ekosistem keberlanjutan hidup gamelan. Pernyataan terakhir itu kiranya perlu dicetak tebal. Kampus seni sibuk mencetak musikus gamelan, tapi tidak menciptakan penonton gamelan. Banyak pertunjukan gamelan (klenengan) yang tidak menarik penonton karena terasa monoton dan membosankan. Belum ada penelitian komprehensif mengenai antusiasme penonton menyaksikan gamelan. Karya seperti apa yang dikehendaki penonton? Bagaimana produksi karya itu dapat dilakukan tanpa meninggalkan akar tradisi yang membingkainya? Itu sejumlah pertanyaan besar yang belum terjawab hingga kini.

Hak Cipta

Dalam ingar bingar persoalan royalti pada musik pop akhir-akhir ini, karya-karya musik tradisi barangkali berada paling pinggir. Banyak musikus musik pop berlomba-lomba memperjuangkan hak royalti atas karyanya yang digunakan oleh banyak pihak. Namun kita jarang—atau mungkin tidak pernah—mendiskusikan bagaimana dengan karya-karya musikus tradisi semacam gamelan-karawitan. Karya musik gamelan, yang disebut gending, banyak dibuat, tapi miskin perlindungan hak cipta. Apalagi dalam ekosistem dunia digital, katakanlah YouTube, banyak pihak tidak bertanggung jawab yang mengklaim satu gending, yang sebenarnya berbasis tradisi komunal, sebagai karya pribadinya. Hal ini dikeluhkan oleh para pelaku musik gamelan saat mereka akan mengunggah aktivitas bermusiknya di laman digital, lalu diblokir karena dianggap melanggar hak cipta. Padahal karya itu murni tradisi, yang siapa pun dapat leluasa menggunakannya. Pada titik ini, sekali lagi, pelaku musik tradisional kalah lagi.

Belum lagi persoalan antar-musikus gamelan. Satu orang membuat karya baru dengan menggunakan medium gamelan, kemudian karya itu dibajak habis-habisan oleh musikus gamelan lainnya. Pemilik karya tidak paham harus mengadu ke mana selain menulis status ratapan di media sosial—itu pun tidak berani menyebut nama plagiator yang menjiplak karyanya. Semua serba pekewuh, tidak enakan. Ini menjelaskan bagaimana masalah musik gamelan, dari yang paling elementer pun, belum dapat diselesaikan.

Di sisi lain kita sangat bangga gamelan kini diajarkan di banyak kampus besar di dunia dan menjadi orkestra terbesar kedua dunia setelah musik klasik Barat. Ini menyebabkan banyak peneliti internasional tertarik meneliti gamelan, datang ke Jawa, lalu membuat komunitas-komunitas pemain gamelan di negaranya. Puncaknya adalah penetapan UNESCO itu.

Pementasan gamelan pada pembukaan Tumang Fair, di Desa Tumang, Boyolali, 19 Juli 2024. TEMPO/Gunawan Wicaksono

Selama ini, yang diekspose dan yang diperbincangkan adalah hal-hal spektakel, tanpa sedikit pun memberi ruang bagi nasib dan hak hidup pengrawit sebagai "pemilik" gamelan. Karena itu, karya-karya berbasis gamelan belum tumbuh sebagai obyek menarik untuk dibahas di ranah hak cipta, royalti, dan perlindungan musikusnya. Dengan kata lain, pengakuan UNESCO yang membuncahkan prestise global belum memecahkan persoalan gamelan dalam jangka panjang. Secara struktural pun hingga detik ini tidak ada lembaga atau organisasi yang secara serius mengurus kesejahteraan musikus gamelan dan memungut royalti atas karya-karyanya. Banyak lembaga lebih berfokus pada perayaan atau selebrasi, seminar, simposium, dan penyuluhan tanpa menyentuh substansi persoalannya.

Sebagai warisan budaya tak benda, gamelan idealnya memiliki landasan hukum yang jelas dan kuat untuk melindungi karya-karya gamelan, terutama yang dihasilkan oleh para musikus berbasis tradisi. Kendati harus diakui, di era digital dominasi kapitalisme tidak berpihak pada musik tradisi, yang tidak memiliki kerangka hukum yang memadai. Terlebih, konsep tradisi senantiasa menekankan bahwa karya musik gamelan adalah karya bersama dan secara "de facto" dianggap bebas digunakan. Ini berimbas pula pada karya-karya baru dengan nama pencipta yang lebih jelas—seolah-olah karyanya layak untuk dibajak tanpa resistansi.

Kritik

Meskipun saya bekerja di kampus seni, otokritik menjadi penting agar lembaga-lembaga pendidikan seni memiliki peran aktif dalam mengadvokasi nasib pengrawit. Walaupun, harus jujur diakui, lembaga pendidikan seni masih berkutat pada persoalan teori dan teknis permainan gamelan tanpa, katakanlah, menyiapkan mahasiswanya untuk siap menghadapi persoalannya di masa depan.

Banyak musikus gamelan dan pengrawit, yang notabene lulusan kampus seni, mengeluh saat menciptakan karya baru dan mempublikasikannya, lalu menemukan karya mereka diunggah dan digunakan secara masif oleh pihak ketiga tanpa izin. Ironisnya, pihak ketiga itu sering kali adalah teman atau koleganya sendiri, yang juga pernah mengenyam bangku sekolah seni. Ini membuktikan bahwa, bahkan dalam ekosistem yang lebih terstruktur, misalnya dunia akademik, ketimpangan justru seolah-olah dilegalkan.

Begitu banyak penelitian gamelan dilakukan, tapi sedikit aksi berbasis advokasi kemanusiaan digelar. Inilah yang menyebabkan, jangankan mempersoalkan royalti gamelan lewat lembaga pemungut royalti seperti Lembaga Manajemen Kolektif Nasional, mengatasi persoalan hak cipta antar-musikus gamelan sendiri saja masih belum tuntas. Akibatnya, ketimpangan terjadi dalam distribusi royalti antara musikus tradisi dan populer.

Musikus musik gamelan tidak memiliki mekanisme yang sama dalam memperjuangkan hak-hak atas karya mereka. Dalam konteks inilah sejatinya peran lembaga pendidikan seni musik tradisi dapat berperan besar untuk merumuskan dan membuat peta jalan bagi perkembangan gamelan ke depan.

Pengakuan UNESCO sudah selayaknya tidak semata-mata diingat dengan perayaan dan selebrasi bising bunyi gamelan, tapi juga kontemplasi di ruang sunyi untuk merumuskan kebijakan yang lebih berpihak pada pengrawit dan masa depan cerah bagi musikus musik tradisi pada umumnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Aris Setiawan

Aris Setiawan

Etnomusikolog dan pengajar Institut Seni Indonesia Surakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus