logo Kompas.id
Artikel OpiniMempolitikkan Musik, Kajian...

Mempolitikkan Musik, Kajian Etnomusikologi Musik Kakula

Musik itu bukan dengung atau sekadar bunyi, namun menyuarakan tentang sesuatu, selayaknya makna puisi Widj Thukul. Amin mengamati dengan cukup detail perubahan pada musik Kakula seiring dengan pergantian rezim penguasa.

Oleh
ARIS SETIAWAN
· 6 menit baca
https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/qNdkgrZXEYSyAg3hDvKDkVq69Sw=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F04%2F23%2Fa635afd1-ffd2-4635-9193-aac3b22d9c90_jpg.jpg

Tidak ada satu jenis musik pun yang tidak terpaut dengan persoalan politik. Seberapapun jauhnya seorang musisi mengambil jarak penciptaan karyanya dengan politik, pada kesempatan yang sama sejatinya ia telah berpolitik untuk tak menghubungkan karyanya dengan urusan politik. Dengan kata lain, musik tercipta karena suatu kondisi yang menyebabkan ia hadir dan menyapa publik. Kondisi tersebut sering kali berupa situasi di mana kebebasan dan keterkungkungan kreativitas terjadi karena masalah kebijakan [politik]. Zaman Iwan Fals, contohnya, kuasa Orde Baru menganggap karya-karyanya sebagai ”musik politik” karena mengkritik pemerintah.

Musik itu bukan dengung atau sekadar bunyi, tetapi menyuarakan tentang sesuatu, selayaknya timbunan makna puisi Widji Tukul dalam karya sastra. Pengaruh kebijakan dan kontrol negara atas segala hal, tidak terkecuali kebudayaan, secara langsung berpengaruh besar terhadap daya kreatif seniman. Era tahun 60-an, misalnya, lahirlah karya-karya seni yang berafiliasi dengan lembaga kebudayaan rakyat (Lekra), sebuah lembaga yang konon diidentikkan dengan gerakan komunisme di Indonesia. Oleh arena itu, Soeharto merasa perlu memurnikan kembali kebudayaan, termasuk musik, dari pengaruh-pengaruh komunisme. Pemurnian itu dilakukan lewat kontrol ketat dengan menempatkan basis tentara di daerah sebagai kurator seni.

Musik itu bukan dengung atau sekadar bunyi, tetapi menyuarakan tentang sesuatu, selayaknya timbunan makna puisi Widji Tukul dalam karya sastra.

Buku berjudul Musik Itu Politik karya Mohammad Amin ini memang tak hendak bercerita tentang tegangan politik praktis sebagaimana kisah di atas. Namun, lebih pada perubahan yang terjadi pada musik akibat pengaruh kebijakan kebudayaan dari negara. Amin mengambil Kakula di Sulawesi Tengah sebagai obyek material dalam penelitiannya. Kakula adalah sebuah ansambel (terdiri dari tujuh buah instrumen, bentuknya hampir mirip dengan bonang pada gamelan Jawa) yang dimainkan secara bersama-sama.

Amin mengamati dengan cukup detail perubahan pada musik Kakula seiring dengan pergantian rezim penguasa, dimulai dari zaman kolonial, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi. Geliat menuju modernitas membawa satu konsekuensi penting bahwa yang tradisi dianggap lawas dan sudah selayaknya berubah menjadi lebih baru dan segar. Negara senantiasa memimpikan sebuah struktur dan tatanan kehidupan yang mapan, maju, dan tentu saja modern. Akibatnya, ada dikotomi tarik-menarik, antara mempertahankan tradisi dan risiko dianggap monoton, atau berubah menjadi lebih anyar dengan risiko kehilangan identitas.

Bagian buku <i>Musik Itu Politik</i> (YOI, 2021, hlm 4-5)
YOHANES KRISNAWAN

Bagian buku Musik Itu Politik (YOI, 2021, hlm 4-5)

Pilihan-pilihan demikian senantiasa disuguhkan pada kesenian kita, tidak terkecuali Kakula. Amin mengamati bahwa ada dua versi Kakula yang berhadapan satu sama lain sebagai akibat dari gaduhnya gelanggang politik kebijakan pemerintah. Disebutkan bahwa Kakula versi baru lahir (disebut Kakula Nuada), disponsori oleh pemerintah untuk diupayakan sebagai citra kesenian nasional. Yang baru itu memiliki bentangan jarak yang lebar dengan Kakula versi tradisi. Seolah-olah negara hadir dengan mengadu antara yang lama dan baru. Pemerintah mencirikan dirinya sebagai yang modern melawan Kakula tradisi sebagai bentuk lama atau lawas.

Amin memang tidak terfokus meneruskan polemik tersebut. Hal itu wajar mengingat ia adalah bagian dari pemerintah. Kini Amin menjabat sebagai Direktur Industri Kreatif Musik, Film, dan Animasi pada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Buku ini menarik apabila ditelaah dari sudut pandang etnomusikologi, mengaitkan persoalan musik dalam konteks kebudayaan masyarakat pemiliknya. Kakula sebagai sebuah musik tidak beku dalam pengembangan oleh para pelakunya. Bahkan, pada satu titik tertentu, kini muncul apa yang disebut sebagai Kakula Kontemporer, dengan melahirkan gaya baru agar tak lekas disebut ketinggalan zaman, yakni dangdut. Dangdutisasi Kakula apabila dibaca dalam perspektif etnografi adalah sebuah upaya untuk menautkan musik selaras dengan geliat anak muda di zamannya.

Gejala dangdutisasi kiranya tidak hanya terjadi dalam konteks musik Kakula, tetapi hampir semua musik tradisi di Indonesia, tidak terkecuali musik dalam tembok keraton, semacam gending-gending gamelan Jawa.

Gejala dangdutisasi kiranya tidak hanya terjadi dalam konteks musik Kakula, tetapi hampir semuamusik tradisi di Indonesia, tidak terkecuali musik dalam tembok keraton, semacam gending-gending gamelan Jawa. Hal tersebut membuktikan bahwa identitas dalam musik itu lentur, tidak kaku, karena tidak adanya parameter-parameter yang dapat digunakan sebagai patokan untuk mengurung musik dalam kategori tertentu. Apa yang kita sebut tradisi pada hari ini adalah bercitarasa populer pada zamannya, apa yang kita agungkan pada hari ini akan menjadi tradisi pada masa mendatang, begitu seterusnya.

Musik tradisi senantiasa berada di persimpangan zaman. Ia dihadapkan dengan banyak persoalan, tidak terkecuali banalitas kebijakan politik oleh pemerintah. Pada dekade tahun 60-an, misalnya. Soeharto datang ke Muncar Banyuwangi sebagai bagian dari upaya memberi petunjuk agar musik tradisi dijauhkan dari paham Genjer-genjer (komunisme). Akibatnya, arah musikal karya baru menjadi seragam, serupa, dan diharamkan adanya perbedaan.

Negara menunjukkan kuasa dirinya lewat bunyi atau suara. Begitu juga dalam Kakula, negara lewat lembaga atau institusi di daerah berperan besar mengonstruksi gaya-gaya baru, alih-alih sebagai alternatif dari apa yang telah mapan. Tentu saja hal tersebut akan menemukan puncaknya saat penyelenggara negara, semisal pegawai di dinas kebudayaan atau pariwisata, memiliki sanggar atau kelompok seni. Saban waktu yang tampil hanya sanggar atau kelompoknya, menggusur peran dan kesempatan seniman tradisi untuk tampil secara lebih terbuka. Yang demikian juga menjadi bagian dari politik.

Bagian buku <i>Musik Itu Politik</i> (YOI, 2021, hlm 16-17)
YOHANES KRISNAWAN

Bagian buku Musik Itu Politik (YOI, 2021, hlm 16-17)

Buku ini adalah alih wahana dari disertasi Amin Abdullah. Membukan hasil-hasil penelitian, terutama dalam bidang musik, mendesak dilakukan karena jumlah kekaryaan musik tidak sebanding dengan jumlah penerbitan buku musik. Banyak festival musik besar digelar, tetapi sangat sedikit yang menuliskannya. Java jazz yang dihelat pada 27-29 Mei 2022, misalnya, menjadi forum musik jazz yang ditunggu, tetapi tidak dibarengi dengan kajian kritis terhadapnya dalam bentuk pemikiran yang dibukukan.

Memang, selama ini banyak hasil penelitian musik bermutu dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertasi. Namun, semua itu hanya diproduksi dalam wacana akademis, untuk meraih gelar kesarjanaan. Setelahnya, hasil penelitian itu mangkrak di perpustakaan, tak terbaca, lapuk dimakan rayap. Upaya untuk membukukan hasil-hasil penelitian itu setidaknya sebagai bentuk pertanggugjawaban intelektual kepada publik, alih-alih bermisi mencerdaskan. Tentu saja banyak jurnal musik bertebaran meskipun sudah jamak menjadi phobia jika bahasa yang digunakan terlalu kaku, ribet, dan membacanya membuat dahi berkerut karena tak mengerti.

Baca juga: Problematika Musik Indonesia Mutakhir

Dengan kata lain, mengubah hasil penelitian ilmiah menjadi buku tentunya diperlukan perbuahan elementer, yakni gaya bahasa, agar menjadi lebih cair dan populer. bisa dinikmati masyarakat umum. Sayangnya, hal tersebut tidak terjadi dalam buku karya Amin ini. Bagian-bagian dari disertasi ditampilkan secara utuh (landasan konseptual, metodologi, kajian pustaka, tujuan-manfaat penelitian, sistematika penulisan).

Buku ini menjadi terasa berat karena di sana-sini bertebaran teori-teori dengan parameter yang tidak mudah dipahami. Kata ”politik” pada judul juga tidak mengandung makna problematik, selain hendak mengungkapkan perubahan musik akibat perubahan kebijakan. Jadi, jangan harap adanya tegangan-tegangan konfliktual, yang mendudukkan satu pihak sebagai korban kebijakan, sementara pihak lain memiliki peran sebagai sosok antagonistik.

Aris SetiawanEtnomusikolog, Pengajar di ISI Surakarta

Sampul buku <i>Musik Itu Politik</i> (YOI, 2021, hlm 4-5)
YOHANES KRISNAWAN

Sampul buku Musik Itu Politik (YOI, 2021, hlm 4-5)

Judul buku: Musik Itu Politik: Studi Pengaruh Kebijakan Kebudayaan Pada Perubahan Musik Penulis: Mohammad Amin Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia Tahun terbit: Cetakan I, 2021 Tebal: xxvi + 400 halaman ISBN: 978-623-321-048-5

Editor:
SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Bagikan