Oleh: Aris Setiawan (Etnomusikolog, Pengajar di ISI Surakarta)
Gamelan di pendopo itu dapat bercerita lebih banyak daripadaku
Itu lebih tepat bila dikatakan bukan lagu, bukan melodi, bukan nada dan bunyi
Menggetar campur aduk tanpa tujuan, membumbung, betapa mengharukan indahnya!
Di atas adalah sedikit penggalan surat Kartini pada Estella Zeehandelaar, sahabatnya di Belanda, pada 12 Januari 1900. Surat itu kembali dibacakan dalam forum bertajuk “Membaca Suratnya, Terbitlah Terang” yang diselenggarakan oleh Institut Ungu, Yayasan Muara Bangsa, didukung Komnas Perempuan, Ardhanary Institute, dan Rutgers WPF, di Galeri Cipta II Taman Islamil Marzuki, 18 April 2013.
Surat itu begitu puitis, berkisah tentang musik yang melampaui kodratnya sebagai sebuah bunyi. Kartini mendekonstruksi. Luapan perasaanya tentang gamelan melebihi deskripsi para (etno)musikolog (ilmuan musik) saat itu. Kartini barangkali lebih dikenal sebagai sosok emansipasi, pejuang kesetaraan bagi kaum perempuan. Namun kita jarang membacanya dalam konteks musik, terutama pemikirannya tentang gamelan Jawa.
Kartini hidup dalam zaman di mana banyak para penulis musik dari Barat yang seringkali mendeskripsikan kesenian tradisi, tak terkeculi gamelan, pada posisi yang kalah dibanding musik klasik Eropa (baca karya Sumarsam berjudul Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa [2003]). Kartini melawan dan memberi pembelaan pada gamelan.
Tulisan-tulisan kartini tentang gamelan tidak hadir begitu saja sebagai ungkapan sesaat. Justru sebaliknya, karena ia adalah putri Jawa ningrat, gamelan dianggap sebagai satu-satunya musik yang mampu mencerminkan kepribadiannya. Ia bersentuhan dengan gamelan, bukan dalam konteks sebagai pemain, namun penikmat yang tuntas dan qatam. Ia hidup dalam jarak liminalitas, batas ambang, dikotomi anatara “hadir dan di luar”.
Ia mampu berbicara tentang gamelan dengan lugas dan tandas tanpa harus terlibat menjadi pemain atau musisi (juga sindhen). Pada konteks yang lain, tanpa pamrih dan tendensi kepentingan politis, luapan perasan tentang gamelan lahir dalam ruang yang paling subtil dan privat yakni: kamar, dengan tubuh yang menjadi penanda dari yang “kalah” bernama: perempuan. Dalam konteks itulah, bait-bait pelukisan tentang gamelan diguratkan.
Gamelan menjadi jembatan bagi Kartini untuk memasuki belantara dunia lain yang baru, berupa gugusan mimpi dan imajinasi. Dalam kalimat lain pada surat di atas, Kartini berkata: Dan jiwaku sendiri melayang bersama dengan gemercik suara peraknya yang suci itu ke atas, ke langit biru, ke mega kapas, ke bintang-gemintang gemerlap; bunyi-bunyi bas yang dalam membubung ke langit, dan bunyi-bunyian itu membawa aku menelusuri lembah-lembah gelap dan dalam, melewati hutan-hutan yang lengang, menerobosi belantara yang tak tertembusi.
Yang menarik kemudian, barangkali Kartini tidak begitu faham dengan nama-nama instrumen gamelan. Ia masih memberi label dengan nama “bas” untuk bunyi berat dalam gamelan, yang dihasilkan oleh kempul, gong dan slenthem. Narasai Kartini tercipta kala karya-karya gamelan dengan khudusnya berisi kesayuan dan keheningan hidup. Bukan suara atau bunyi yang penuh kebisingan, kegaduhan dan keramaian sebagaimana hari ini.
Gending-gending yang didengar Kartini adalah sebuah penciptaan monumental dari para empu dan musisi Jawa, dengan keraton sebagai basisnya. Ada ruang keadiluhungan yang mencoba dijaga. Kartini hidup di masa karya dalam gamelan Jawa lebih mengedepankan perasaan dan kelembutan, hadir begitu agung di tengah-tengah pendopo, bergaung dan menerobos relung telinga, menyentuh batin, dan menghaluskan budi.
Adapun salah satu karya yang begitu dikagumi Kartini, sebagaimana diungkapkan Nur Handayani (2018), adalah Gending Ladrang Ginonjing Slendro Pathet Manyura. Hal ini juga tertuang dalam surat yang dikirimkan kepada sahabatnya yang lain, Nyonya Abendanon, tanggal 12 Desember 1902. Dalam surat itu, sejak kalimat pertama, Kartini sudah terhanyut untuk dengan khusyuk menceritakan perasaan sakralnya tentang gending itu.
Kartini berkata: sudah pada nada-nada permulaan dari bagian pembukaan itu aku sudah hilang lenyap tenggelam, bila ginonjing itu terdengar olehku…seakan nafas suara-suara keperak-perakan yang menggetar itu meniup lenyap tabir yang menutup kegaiban hari depan. Maka menggigillah aku,…kutebarkan pandangku ke atas, terbentanglah di sana langit biru muda di atasku dan cahaya matari yang keemasan bermain-main dengan mega-mega putih dan di dalam hatiku kembali terbit terang.
Kita bisa saja bingung dan sekaligus menduga-duga bila Kartini bermain-main dalam kata, puisi dan metofora bahasa. Gadis dalam pingitan itu mampu membuncahkan kata-kata yang begitu sastrawi. Membaca surat Kartini seolah menderas karya sastra, begitu menggoda. Kartini adalah (etno)musikolog perempuan pertama di tanah Jawa.
Di tahun-tahun itu, pendeskripsian tentang gamelan Jawa masih langka, jika pun ada, hampir semuanya dilakukan oleh sarjana Barat, yang memandang gamelan dari kacamata mereka. Gamelan diukur dan dinilai dari cara-cara mereka melihat dan memainkan musik barat. Tentu saja tidak sedikit yang salah, dengan menempatkan gamelan dalam kuasa yang “kalah”.
Sekolah-sekolah musik belum berdiri. Urusan musik belum dianggap penting. Akibatnya, karya-karya gamelan hadir kemudian hilang ditelan zaman. Kartini berusaha membekukan kisahnya tentang gamelan dan gending-gending.
Catatannya itu kemudian menjadi bukti penting di hari ini, di kala masyarakat menikmati gamelan tak ubahnya menikmati musik dangdut, dengan berjingkrak dan menggelengkan kepala. Gamelan tidak lagi hadir dalam keagungan pendopo, tapi dalam panggung-panggung selayaknya musik pop dan rock, dengan tata lampu dan suara yang bombastis.
Kita tidak lagi menemukan kenikmatan mendengarkan gamelan sebagaimana Kartini, di antara keheningan dan kelirihan, antara kantuk dan terjaga. Gamelan memberi kesan, dan kartini mencatatnya. Kartini mungkin tak berhasrat menjadi ilmuan musik, pencatat musik, namun apa yang dilakukannya di zaman itu telah lebih dari cukup.
Tahun ini kita kembali melangsungkan peringatan Hari Kartini (21 April), tak ada salahnya kemudian kita membacanya dalam konteks musik (gamelan), tak melulu dalam ruang emansipasi berbalut kebaya dan sanggul. [NI].