aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
--
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Tiada puisi yang begitu banyak dinyanyikan selain sajak Sapardi berjudul ”Aku Ingin” di atas. Puisi itu menjelma selayaknya lirik yang merindukan nada. Puisi dan musik adalah dua entitas yang berbeda, tetapi keduanya berada dalam satu rumah yang sama, yakni; bunyi.
Bagi sebuah generasi yang mendamba kekasih pujaan hati, puisi di atas dinyanyikan dengan penuh penghayatan, menjadi sebentuk rayuan, jurus ampuh agar dianggap pria romantis dan melankolis. Apabila kebanyakan puisi bermain akrobat kata, puisi Sapardi justru sederhana, semata hendak bermain-main di ”wilayah hati”. Mendarasnya membuat jiwa berdesir.
Cobalah baca ”Hujan di Bulan Juni”, tanpa harus kita nyanyikan, puisi itu dengan sendirinya telah mampu bernyanyi dalam sanubari. Puisi senantiasa membebaskan diri dari bunyi, tak harus terucap, kadang hanya dibaca dalam sunyi dan diam. Tapi, bukankah kesunyian dan diam adalah puncak dari kesempurnaan musik, sebagaimana karya Cage berjudul Silence (1952), sebuah suara yang tak berbunyi. Puisi Sapardi menjadi sebuah kata yang tak harus terucap.
Puisi dan musik adalah dua entitas yang berbeda, tetapi keduanya berada dalam satu rumah yang sama, yakni; bunyi.
Sohib (2018) mengartikan puisi ”Aku Ingin” di atas sebagai sebuah perjalanan nilai kesufian. Sebuah tingkatan puncak dari dari proses peniadaan diri, melepaskan, dan ritus keikhlasan. Dalam tradisi menjemput kematian di Jawa, puisi Sapardi berkisah tentang ”kemoksaan” atau ”muksa”.
Lihatlah hampir semua puisinya berisi tentang kehilangan dengan bahagia, cinta sempurna yang tak tersampaikan, dan sakit yang tak mendamba obat. Sapardi adalah manusia unik, ia berhasil memungut kata-kata, membuatnya menjadi serentetan bunyi yang apabila disuarakan membentuk sebuah dinamika alunan melodi.
Sapardi bukan musisi, tetapi berhasil mencipta orkestra musik yang tak melulu bermodal nada, tapi kata-kata. Lewat kata-kata itu kita tersadarkan bahwa puisi, walaupun tak lekas dinyanyikan untuk menjadi ”musikalisasi”, sebenarnya dengan sendirinya telah bernyanyi. Justru nyanyian itulah paling sakral dan imajinatif.
Setiap orang dapat membacanya tanpa harus terikat dengan hukum-hukum kepastian nada sebagaimana kita mengenal sosok karakter dalam cerpen atau novel tanpa pernah melihat pemeran di filmnya. Ada kebebasan yang mengejutkan.
Dinyanyikan
Puisi indah Sapardi memancing siapa pun untuk bernyanyi. ”Aku Ingin” dimusikkan cukup memukau oleh Dwiki Dharmawan. Melalui vokalis perempuan, puisi itu disenandungkan dengan anggun tapi feminin. Seolah berisi rintihan dan kepedihan. Di kala syair musik pada lagu pop mutakhir cenderung picisan, kita mendengar selarik puisi Sapardi menjadi oase.
Musik dewasa ini memang sering kali kehilangan kata-kata, monoton, dan menjemukan. Kisah asmara dan cinta-cintaan masih menjadi pikat, tapi berisi deretan lirik yang dangkal jika tak boleh dibilang banal. Tak mengherankan apabila lagu Aku Ingin menjadi idola untuk dinyanyikan di pelbagai gelaran, dari musik kamar mandi, kafe, hingga panggung pertunjukan.
Banyak puisi dinyanyikan, tapi puisi Sapardi menjadi kata yang paling akomodatif menerima nada. Tapi bukankah selama ini puisi senantiasa ”bertarung” dengan nada dan harmoni?
Di kala syair musik pada lagu pop mutakhir cenderung picisan, kita mendengar selarik puisi Sapardi menjadi oase.
Bob Dylan, musisi dan pencipta lagu dari Amerika, menerima penghargaan nobel bidang sastra tahun 2016. Bagaimana mungkin hal itu terjadi, padahal Dylan bukanlah sastrawan. Tidak lain karena kekuatan kata dalam musiknya yang melampaui kodrat sebagai sebuah lirik. Tapi selalu ada persoalan tarik-menarik, mana yang lebih dipentingkan antara nada (melodi) dan kata (lirik)?
Pertanyaan itu membawa konsekuensi lain. Apabila nada atau melodi yang lebih diutamakan, lirik akan terkalahkan, kata tak lagi bebas menyuarakan, akan selalu ada keterpenggalan dan keterbatasan ruang.
Begitu juga sebaliknya, apabila kata yang menjadi acuan, nada hanya sekadar hadir memberi penguatan sehingga sering kali tak menjadi bunyi musik yang indah. Namun, lihatlah musik dalam puisi-puisi Sapardi, antara nada dan kata berdiri sama indahnya, tidak ada yang terkalahkan, sama-sama memberi kekuatan.
Bagi musisi, puisi Sapardi serupa deretan titik, menunggu untuk dibentangkan menjadi sebuah gambar. Puisi itu tak menuntut pembacaan yang cepat dan keras. Seolah memberi ruang kosong bagi munculnya tafsir-tafsir yang lain, termasuk nada. Coba baca semua puisinya, termasuk ”Aku Ingin” dan ”Hujan di Bulan Juni”, terlalu indah apabila dibawakan dengan pelan dan syahdu bukan?
Ada romantisisme puncak yang tercapai dari ketidakketergesaan. Sebagaimana pertunjukan bertajuk ”Hujan Bulan Juni” di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (27/6/96). Gelaran itu diisi dengan musik yang mengambil sajak-sajak Sapardi sebagai liriknya. Kompas (29/6/1996) memberitakan: ”hampir semua hadirin malam itu menyukainya”.
Sebagai nyanyian, dengan dukungan vokalis yang tidak ada kurangnya, lagu yang diperdengarkan memang manis: menggemaskan, meninabobokkan mungkin. Lirik-lirik musik bersajak—puisi—Sapardi ternyata memiliki kekuatan, luluh dan menghanyutkan, jauh dari kesan bising.
Bahkan Sapardi mengaku iri dengan kemampuan interpretasi para musisi terhadap sajak-sajaknya. Jika demikian, barangkali musik berisi lirik puisi itu sejalan dengan maksud yang hendak diungkapkan kata-kata.
Jika demikian, barangkali musik berisi lirik puisi itu sejalan dengan maksud yang hendak diungkapkan kata-kata.
Di pengujung waktu, kita diingatkan untuk kembali membaca puisinya berjudul ”Pada Suatu Hari Nanti”. Sebuah puisi yang berbunyi; pada suatu hari nanti/jasadku tak akan ada lagi/tapi dalam baik-baik sajak ini/kau takkan kurelakan sendiri. Pada suatu hari nanti/suaraku tak terdegar lagi/tapi di antara larik-larik sajak ini/kau akan tetap kusiasati. Pada suatu hari nanti/impianku pun tak dikenal lagi. Namun di sela-sela huruf sajak ini/kau takkan letih-letihnya kucari.
Ya, Sapardi Djoko Damono telah pergi untuk selamanya di usia ke-80 tahun (19/7/2020). Jasad, suara, dan mimpinya barangkali tak lagi kita kenal kelak, namun sajak-sajaknya akan tetap abadi, mengalun dan membunyi serupa musik yang kekal dalam imajinasi dalam setiap generasi. Selamat jalan Sapardi Djoko Damono, terima kasih atas orkestra puisimu.
(Aris Setiawan Etnomusikolog, Pengajar di ISI Surakarta)