Dr.R.M. Pramutomo,M.Hum (2017) JEJAK SOSIO-HISTORIS PENCIPTAAN DRAMATARI JAWA. EC00201706502.
|
Text
RM. PRamutomo_JEJAK SOSIO-HISTORIS PENCIPTAAN DRAMATARI JAWA.pdf Download (6MB) | Preview |
Abstract
Gambaran umum buku ini dapat diacu dari sebuah pola status lokasi penciptaan dramatari yang muncul dalam jalur politik birokrasi di Kraton Yogyakarta. Hal ini sudah diindikasikan dari kemunculan genre genre dramatari di tiga buah lokasi penting yaitu; 1) Kraton Yogyakarta, tempat kelahiran dramatari Wayang Wong, 2) Kadipaten Anom, tempat dilahirkan dramatari opera Langendriya, dan 3) Kepatihan Danurejan, tempat munculnya dramatari opera Langen Mandra Wanara dan jenis penyajian tari yang disebut beksan Kepatihan. Namun demikian karakter stilistik dramatari yang lahir di atas tidak jauh berbeda dari kategori umum bentuk bentuk komposisi tari. Jika ketiga pusat lokasi ini dijadikan sebagai peta jalur secara sosiologis, maka ketiga pusat lokasi di atas sekaligus menjadi pusat perkembangan dramatari gaya Yogyakarta. Alasan penulisan buku ini dalam fokus wilayah Yogyakarta, disebabkan karena awal mula terciptanya dramatari Jawa bersumber dari wilayah Yogyakarta. Penciptaan genre dramatari Wayang Wong di Yogyakarta adalah bentuk karya dramatari Jawa yang paling tua. Terciptanya genre Wayang Wong ditandai dengan pertunjukan secara besar-besaran pada tahun 1756. Arti penting dengan pembuktian data ini bisa diasumsikan bahwa sejak Perjanjian Giyanti 1755, maka Sultan Pertama Yogyakarta telah menyiapkan selama satu tahun bagi genre dramatari Wayang Wong untuk kepentingan proses artistik. Buku ini memberi gambaran luas pada perjalanan peta artistik yang disempurnakan secara terus menerus genre Wayang Wong di Yogyakarta hingga saat ini. Pengaruh yang diakibatkan dengan efek estetis kemegahan dramatari Wayang Wong ditandai dengan pola peniruan bentuk dramatari yang diciptakan oleh para elite bangsawan di wilayah Yogyakarta pada akhir abad XIX. Bangsawan Yogyakarta yang terinspirasi dengan penciptaan seni dramatari adalah Pangeran Mangkubumi, seorang putra Sultan Hamengku Buwana VI (1855-1877). Karya dramatari ciptaannya dikenal dengan nama Langendriya. Dramatari Langendriya adalah jenis dramatari opera yang pertama diciptakan di Jawa Tengah. Buku ini juga berupaya memberi gambaran historis ciri-ciri Langendriya gaya Yogyakarta yang kemudian ditiru di Istana Mangkunegaran Surakarta dengan nama Langendriyan Mandraswaran. Tidak hanya sampai di sini, bahasan dalam buku ini juga mengeksplorasi aspek sosio-historis dari dampak status elite birokrasi yang menjadi pusat penciptaan dramatari Jawa. Pengaruh lain yang kemudian muncul adalah kawasan birokrasi tertinggi pemerintahan tradisional Kepatihan. Lembaga Kepatihan atau di Yogyakarta disebut sebagai Kepatihan Danurejan merupakan simbol birokrasi tertinggi pelaksana pemerintahan tradisional di bawah Sultan Yogyakarta. Pada domain artistik, lembaga Kepatihan melalui Patih Danureja VII menciptakan dramatari opera Langen Mandra Wanara yang bersumber dari cerita Ramayana dengan pola penyajian mengikuti pola Langendriya yang diciptakan Pangeran Mangkubumi. Jika Langendriya dikenal sebagai joged jongkok, maka Langen Mandra Wanara dikenal sebagai joged jengkeng. Perbedaan khusus pada posisi lutut ini adalah simbol gradasi sosial elite penciptanya. Dalam hierarki status elite tradisional posisi Kepatihan Danurejan meskipun sebagai birokrasi pelaksana pemerintahan adalah tertinggi, namun status sosial di dalam istana masih di bawah Kadipaten Anom, tempat tinggal Pangeran Mangkubumi. Oleh sebab itu buku ini selain berbicara banyak tentang simbol estetis, namun juga simbol status yang melekat pada diri tempat kelahiran genre dramatari Jawa di Yogyakarta. Pola hierarki status dalam lokasi juga mempengaruhi pola penyajian pokok yang ditunjukan dengan pola adeg atau sikap pokok badan bagian bawah torso. Jika posisi pokok torso dalam dramatari Wayang Wong dilakukan dengan kaki berdiri tancep tegak lurus dan pola gerak tari pokok dilakukan dengan level tinggi, maka ini yang kemudian mengakibatkan pola status menurun pada genre dramatari Langendriya. Posisi kaki jongkok dengan lutut tidak menyentuh lantai adalah level sedang yang ditunjukkan dari kaki penyanga. Lebih jelas lagi dalam pola kaki penyangga dengan lutut menyentuh lantai bagi genre Langen Mandra Wanara yang disebut dengan kaki jengkeng. Demikianlah pola status elite tradisional menggunakan tradisi penyajian sebagai implikasi status sosial dan simbol sekaligus.
Type: | Patent |
---|---|
Not controling keyword: | HAKI, Buku, Dramatari, Jawa |
Subject: | 1. ISI Surakarta > Tari |
Divisions: | Faculty of Performance Arts > School of Dance |
User deposit: | UPT. Perpustakaan |
Datestamp: | 10 Jan 2019 04:41 |
Last mod: | 10 Jan 2019 04:41 |
URI: | http://repository.isi-ska.ac.id/id/eprint/3010 |
Actions (login required)
View item |